Senin, 24 Maret 2014

Run and hide

Di sini adalah tempat segala sepi. Di sini adalah tempat aku sendiri. Di sini adalah tempat orang tidak bisa mencari. Ya, di sini lah tempat aku berlari dan sembunyi.
Hari ini rasanya matahari mulai redup, mungkin matahari sedang tidak sabar untuk menunjukkan aku jalan keluar.
Tidak ada yang pernah tahu bagaimana kepedihan hidup ku, karena memang sulit untuk dikata-katakan.
Tidak ada yang pernah tahu bagaimana aku bisa tersesat dalam hutan yang gelap, menyeramkan, dan rumit, karena semua orang menjadi tuli dengan tiba-tiba ketika aku mulai bersuara.
Dan tidak ada yang pernah tahu bagaimana aku bisa jatuh cinta denga seseorang yang tidak kuduga sebelumnya, mungkin karena hanya dia satu-satunya orang yang datang saat aku sedang duduk sendiri.
Entah sejak kapan aku berhenti untuk mempercayai orang lain. Menurutku, mereka semua hanya memiliki mulut yang sangat besar hingga aku yang sebesar ini pun bisa masuk kedalamnya. Ya, aku ini calon kotoran-kotoran mereka jika aku terus melanjutkan usaha ku terus mempercayai.
Lebih baik begini, tak percaya siapapun. Tak percaya satu pun. Termasuk tak usah percaya pada diri ku sendiri.
Akumulasi dari kekecewaan ku pada dunia telah membuat aku akhirnya memutuskan untuk menjadi manusia independen.
Sampai pada suatu hari, ketika aku sedang berjalan ada sebuah benda yang kecil menyerupai kerikil menusuk sandalku. Ketika ku lihat dan perhatikan benda itu tidak bersinar seperti berlian, emas, perak, benda ini sama sekali tidak berharga tapi pintar sekali benda ini mencuri perhatian dan sedikit waktuku untuk memperhatikannya dengan seksama. Kemudian ku putuskan untuk menyimpannya kedalam saku karena biar bagaimana pun aku harus berterimakasih karena benda itu lah yang menyadarkan aku dari sebuah lamunan yang sangat panjang. Kemudian, ku pikir benda ini istimewa, karena bukan sebuah kebetulan  bila ia bisa menusuk kakiku, padahal banyak kerikil-kerikil lain yang bisa saja untuk melakukan hal itu.
Semenjak saat itu lah dia bukan hanya sekedar benda penemuanku, tetapi ia lah kawanku yang akan selalu menemani ku untuk melanjutkan perjalanan hidup.
Aku berbicara padanya, setiap hari.
Aku ceritakan padanya tentang semua yang telah dunia lakukan kepadaku.
Aku ceritakan pula isi dunia yang kucintai---termasuk benda itu--- dan yang ku benci.
Gila. Memang gila. Semua orang yang melihat akan berkata bahwa aku gila telah berkawan dan berinteraksi terlalu dalam dengan sebuah benda seperti itu.
Tapi sudah berulang kali aku mengatakan bahwa tidak seorang pun akan  pernah mengerti di dalam jiwa si 'gila' ini.
Aku memang terlalu gila dalam segala hal.
Aku tau benda ini tidak bisa berbicara, aku tau benda ini akan diam selamanya.
Tapi aku harus berbuat seperti apa lagi, biar lah orang bilang aku tidak berakal toh kenyataannya hanya benda itu yang ku percaya.
Tapi kasihannya benda ini, walau aku sangat membutuhkannya tapi tidak jarang aku merasa jenuh dengan ke apatisan dunia ini termasuk ketidakpeduliannya terhadap cerita-ceritaku dan kesedihan-kesedihanku.
Aku berharap dia bicara, aku berharap dia bisa menguatkan aku, aku berharap dia bisa melakukan sesuatu untuk ku, aku berharap dia bisa menunjukkan bahwa dia juga memilih aku untuk dinobatkan sebagai kawan seumur hidup-nya.
Aku bosan berbicara sendiri! Aku jenuh sendirian! Aku ini seperti pohon yang tidak pernah tersiram air.
Kering,
Kusam,
Rapuh,
Dan
Mati.
Ya... Ternyata diam-diam aku telah mengingkari komitmenku, aku telah hanyut percaya terlalu dalam kepada benda ini. Harapan pun telah ku gantungkan setinggi-tingginya. 
Aku akhirnya mempercayai sesuatu.
Pikiranku mulai berlari kencang terlalu jauh. Emosiku sudah mulai berekspresi terlalu dalam. Hanya untuk sebuah benda.
Ritme kehidupanku menjadi lebih cepat, aku tumbuh menjadi seorang yang agresif. Hanya karena sebuah benda, benda yang mungkin jika tidak sengaja terjatuh akan hilang begitu saja, dan tidak akan pernah mencariku..

Selasa, 11 Maret 2014

Home not sweet home

Malam ini bukan pertama kalinya saya berfikir untuk berhenti melanjutkan pendidikan saya di kampus. Kesekian kalinya setiap saya tersirat urusan kuliah selalu saja ritme detak jantung saya menjadi lebih cepat dari normalnya. Kemudian hal-hal lain mulai melintas, seperti wajah marah ayah saya, wajah sedih ibu saya, wajah adik saya yang akan mulai terlihat tidak menghargai saya, dan wajah-wajah lainnya yang kebanyakan keluarga besar saya.
Entah apa yang menempel pada tubuh saya, saya merasa tidak pernah beruntung dan berhasil dalam hal apapun. Kehidupan yang saya jalani selama ini belum pernah sejarahnya sehari tanpa persoalan. Dan kebanyakan persoalan itu datang dari rumah. Tidak pernah ada satu aktifitas pun yang saya lakukan lolos dari komentar ayah saya. Dari mulai berat badan sampai berbohong semuanya selalu dikritisi oleh ayah saya. Kadang saya merasa "cukup" karena saya pikir, sudah seharian suntuk para dosen menguliahi saya dan rumah seharusnya menjadi tempat penetralisir otak dan kondisi emosional saya yang bergejolak selama berada diluar rumah.
Salah besar jika saya dinilai tidak ingin sharing dengan orang tua, jujur saja ilmu yang mereka berikan benar-benar bermanfaat besar untuk diri saya tapi penyampaiannya yang belum bisa saya terima dari dulu hingga sekarang.
Demokrasi di rumah saya samgat tidak bekerja sama sekali. Semua komunikasi yang dilakukan oleh ayah saya selalu pemimpin di rumah ini adalah komunikasi satu arah. Ayah saya bak media massa, apapun informasi yang beliau sampaikan tidak bisa diganggu gugat, dan apapun respon kami sebagai penerima pesan tidak berpengaruh apapun terhadap beliau.
Ayah saya sangat kaku kepada saya, begitupun sebaliknya. Entah apa penyebabnya.. Beliau sangat pintar mengecilkan hati saya, membuat saya seolah tidak memiliki harapan apapun dalam kehidupan dimasa depan. Saya sadar bahwa saya memang bukan seorang anak yang superior, tidak seperti yang beliau harapkan. Analogi ayah saya tentang kecerdasar manusia adalah sebuah handphone. Beliau selalu bilang bahwa handphone canggih pasti diminati oleh banyak orang, hanphone yang serba bisa pasti selalu dibutuhkan orang, memori manusia itu juga seperti memori handphone. Namun, tidak sekalipun beliau sadar dan bilang bahwa handphone juga memiliki kapasitas dan hal itu sama dengan manusia. Saya juga memiliki kapasitas, jika memamg begini otak saya sejak kecil kenapa beliau masih saja "menggeder" saya untuk menjadi orang yang sesuai harapan beliau.
"Papa sayang ga sih sama saya?"
Saya kadang menggigit bibir jika membayangkan pertanyaan itu. Saya tidak ingin menangis untuk keraguan konyol seperti itu.
Kenapa polemik kehidupan saya tidak pernah habis? Jujur saja saya siap jika detik ini pun malaikan Izrail datang dan mengulirkan tangannya kepada saya. Dari pada saya harus mengecewakan hati kedua orang tua saya berulang kali, hanya membuat dosa. Lebih baik saya mati di usia 20 tahun. Karena sesungguhnya akhirat lah masa depan saya yang kekal dan pasti.