Selasa, 11 Maret 2014

Home not sweet home

Malam ini bukan pertama kalinya saya berfikir untuk berhenti melanjutkan pendidikan saya di kampus. Kesekian kalinya setiap saya tersirat urusan kuliah selalu saja ritme detak jantung saya menjadi lebih cepat dari normalnya. Kemudian hal-hal lain mulai melintas, seperti wajah marah ayah saya, wajah sedih ibu saya, wajah adik saya yang akan mulai terlihat tidak menghargai saya, dan wajah-wajah lainnya yang kebanyakan keluarga besar saya.
Entah apa yang menempel pada tubuh saya, saya merasa tidak pernah beruntung dan berhasil dalam hal apapun. Kehidupan yang saya jalani selama ini belum pernah sejarahnya sehari tanpa persoalan. Dan kebanyakan persoalan itu datang dari rumah. Tidak pernah ada satu aktifitas pun yang saya lakukan lolos dari komentar ayah saya. Dari mulai berat badan sampai berbohong semuanya selalu dikritisi oleh ayah saya. Kadang saya merasa "cukup" karena saya pikir, sudah seharian suntuk para dosen menguliahi saya dan rumah seharusnya menjadi tempat penetralisir otak dan kondisi emosional saya yang bergejolak selama berada diluar rumah.
Salah besar jika saya dinilai tidak ingin sharing dengan orang tua, jujur saja ilmu yang mereka berikan benar-benar bermanfaat besar untuk diri saya tapi penyampaiannya yang belum bisa saya terima dari dulu hingga sekarang.
Demokrasi di rumah saya samgat tidak bekerja sama sekali. Semua komunikasi yang dilakukan oleh ayah saya selalu pemimpin di rumah ini adalah komunikasi satu arah. Ayah saya bak media massa, apapun informasi yang beliau sampaikan tidak bisa diganggu gugat, dan apapun respon kami sebagai penerima pesan tidak berpengaruh apapun terhadap beliau.
Ayah saya sangat kaku kepada saya, begitupun sebaliknya. Entah apa penyebabnya.. Beliau sangat pintar mengecilkan hati saya, membuat saya seolah tidak memiliki harapan apapun dalam kehidupan dimasa depan. Saya sadar bahwa saya memang bukan seorang anak yang superior, tidak seperti yang beliau harapkan. Analogi ayah saya tentang kecerdasar manusia adalah sebuah handphone. Beliau selalu bilang bahwa handphone canggih pasti diminati oleh banyak orang, hanphone yang serba bisa pasti selalu dibutuhkan orang, memori manusia itu juga seperti memori handphone. Namun, tidak sekalipun beliau sadar dan bilang bahwa handphone juga memiliki kapasitas dan hal itu sama dengan manusia. Saya juga memiliki kapasitas, jika memamg begini otak saya sejak kecil kenapa beliau masih saja "menggeder" saya untuk menjadi orang yang sesuai harapan beliau.
"Papa sayang ga sih sama saya?"
Saya kadang menggigit bibir jika membayangkan pertanyaan itu. Saya tidak ingin menangis untuk keraguan konyol seperti itu.
Kenapa polemik kehidupan saya tidak pernah habis? Jujur saja saya siap jika detik ini pun malaikan Izrail datang dan mengulirkan tangannya kepada saya. Dari pada saya harus mengecewakan hati kedua orang tua saya berulang kali, hanya membuat dosa. Lebih baik saya mati di usia 20 tahun. Karena sesungguhnya akhirat lah masa depan saya yang kekal dan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar